Subulussalam, l.. Bayangan masa depan yang hijau kini dibayangi oleh persoalan pelik, limbah pabrik. PT Mandiri Sawit Bersama (MSB), raksasa pengolah kelapa sawit di Desa Namo Buaya, Subulussalam, tengah bergulat dengan masalah perizinan yang mengancam kelangsungan operasionalnya. Laporan terbaru dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam mengungkap tujuh temuan krusial yang menggarisbawahi ketidakpatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan. (22 Maret 2025).
Data DLHK, hasil monitoring 18 Februari 2025, menunjukkan PT MSB, dengan kapasitas pengolahan 30-45 ton tandan buah segar (TBS) per jam, masih belum mengantongi sejumlah izin vital. Daftar panjang ini meliputi Izin Gangguan (HO), SIGU/SITU, dokumen Rintek untuk penyimpanan limbah B3, izin penimbunan BBM, persetujuan teknis pembuangan air limbah dan emisi, serta Sertifikat Laik Operasi (SLO) pembuangan air limbah.
Ketidaklengkapan perizinan ini menjadi sorotan tajam, terutama mengingat potensi dampak lingkungan yang signifikan dari operasional pabrik berskala besar. Meskipun DLHK telah menyampaikan temuan ini dan menjelaskan arah kebijakan yang harus dipatuhi, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah PT MSB akan mampu beradaptasi dengan cepat dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, atau justru akan menjadi contoh kasus kelalaian industri yang merugikan generasi mendatang?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Abdul Rahman Ali, S.Hut, Kepala DLHK Kota Subulussalam, menegaskan komitmen pengawasan untuk memastikan industri kelapa sawit beroperasi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Namun, tanpa sanksi tegas dan pengawasan berkelanjutan, janji-janji tersebut hanya akan menjadi bualan kosong di tengah ancaman kerusakan lingkungan yang semakin nyata.
Suara Putra Aceh, LSM yang vokal menyuarakan isu lingkungan, turut menyoroti masalah ini. Anton Tin, pimpinan LSM tersebut, mendesak perusahaan perkebunan dan PMKS untuk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi, mengingat banyaknya perusahaan yang menerima “rapor merah” atas praktik-praktik yang merusak lingkungan. Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi tindakan nyata, bukan hanya janji-janji semu.
Daftar Perusahaan di Aceh yang Mendapat Rapor Merah dari KLHK 2025
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 129 Tahun 2025, sebanyak 22 perusahaan di Aceh menerima peringkat PROPER merah, yang menunjukkan kinerja pengelolaan lingkungan yang sangat buruk dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, daftar lengkap nama-nama perusahaan tersebut tidak tersedia dalam sumber yang ada.
Regulasi Terbaru KLHK tentang Limbah Industri 2025
Pada tahun 2025, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan beberapa regulasi penting terkait pengelolaan limbah industri, di antaranya:
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 4 Tahun 2025: Mengatur tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 3 Tahun 2025: Mengatur tentang organisasi dan tata kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 2 Tahun 2025: Mengatur tentang harga patokan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu untuk penghitungan penerimaan negara.
“Regulasi-regulasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkelanjutan serta memastikan kepatuhan industri terhadap standar lingkungan yang ditetapkan.” Tutup Pimpinan LSM Suara Putra Aceh Kota Subulussalam. // Tim. Inv. Padang.